Aku keluar jendela, bersama langkah tertahan . Pandang tak tergelak terbungkam menuli membuta . Dada gemuruh patuh mendetaki separuh langit , pijar sepinggan gemintang nyala sisa sampur terlilit sapuan pipi merona merajuk manja
kulepasi satu-satu, gemeretak dingin melawan pagi. Langit yang melahirkan mentari, tak jua reda dalam kontraksi. Sapuan embun di bibir jendela, meluap hening, melukisi warna malam memudarkan senyum kelamnya dalam hitam
Wajahmu, sewarna bentuk dengan lengkung di ujung horizon, tempat rembulan meninggalkan pijar keemasannya pada bukit-bukit mendung.
Bukan pada tiap lagu cinta aku mampu bersenandung, atau merelakan hatiku tuk memaknainya tegas dalam kosong. Yang bermakna di benak, tiada lain karenamu membuatnya berarti. Dan pada saat semua tak lagi mencari, aku tlah menemukanmu jauh-jauh hari.
Lagi-lagi, tersekat tak berucap. Terkunci lidah, mati kata dalam benang pengharapan menjerat mengikat. Bibir yang senantiasa kau kecup penuh mesra ini tak bergerak, menggumam hanya pada dasar hati dan tak tergetar di artikulasi. Jeda antara nafas dan hela nadi memanggil perlahan tanpa bentuk.
“ Kau, atau tubuhmu yang lelap dalam dekap. Kau, atau pulasmu yang mengembarakanmu pada pertemuanku di sudut jendela kamar kita. Kau, atau elusmu yang mengeja tiap inci rambutku dengan geletar hasrat cinta. Kau, atau bisikmu yang mewakili seluruh kalimat yang pernah dicipta semua pujangga “
Seluruh jawaban, tersimpan di genggam gaun panjangku yang menutup lutut. Urai rambutku turut menguncinya rapat-rapat. Semua kain membalut jantung menyimpannya dalam diam.
Aku dalam lunglai kaki ringkih, mengerati sebongkah kukuh menutup dan menepuk dada pada tunduk. Menyenyahkan pandang laki-laki jalang dengan siulan menikam kesungguhan.
Dan aku tetap di pinggir jendela, berharap dengan kedua lengan kukuhmu, kau bawa pembuka benakku.
Arhiend Prayoga
dalam perenungan
Senin, 22 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar