Lihat aku...
perempuan yang menginginkan kesempurnaan dalam kesederhanaan dan keterbatasannya..
lahir 08 0kt0ber 1980,, dan kini bersaujana sebagai Widya Iswara..
dulu menjadi PNS guru adalah harapanku....,,dan sepenuhnya itu tlah tergapai...dan..kini Diklat prajab Srondol menjadi tempat terindah yang pernah ku kunjungi.
Tujuh hari lalu, benakku tertinggal di rumah, ketika dengan sepenuh harapan aku mulai mengaktualisasi ragaku dan berjibaku dengan materi. Kini, sepenuhnya jiwa ragaku tlah lebur di tempat ini. Sahabat-sahabat baru yang menyemangatiku...,,suami yang mndukungku..anak-anak yang mencintaiku...sempuuurna ( andra n d Backbone )....
Ku tak akan melupakan detik ini...,,aku kan gapai inginku suatu saat kembali kesini dengan jenjang yang lebih tinggi...
I love U balai Diklat Srondol. Trimakasih tuk mengantarkanku menjadi lebih baik.
Senin, 22 Maret 2010
Esokku
Di tepian deburan jantung, berasa memijak bara,
dingin mengelus meregangkan butiran saujana,
gemuruh dada, kenyang luka,
pada sepi hati tak terbunuh,
pada hening sukma tak tertikam,
pada lugasnya kalimat cinta perawan, jejaka tak tergeming
Elegi senja hari, meremas dedaunan sirih bergulung,
Membenangi sumping telinga gadis bercadar simpul
Tunduknya malu-malu, mengantar lirik di sudut senyum
Bukan kata “ya “, ataulah kalimat bernada bijaksana
Meneduh sepanjang raga bersauh
Meretas Guntur perjumpaan bumi dan nirwana
Dayungku tlah kau patahkan, dengan cinta yang meluluhkan haluan
Serpih kain penutup lutut pun, tlah kau lipat dalam keranda
Langkah tlah menjemput, impian tlah berpaut
Jasad dalam peluk, sukma dalam pagut
“Tak puaskah kau miliki aku dengan segalaku ?”
“Hingga perlu kau penjarakan aku pada pandangmu ?”
Bukan pada sia-sia, aku berlutut
Bukan pada tanpa lenganmu, aku bergelayut
Bukan pada tanpa hasratmu, aku terhanyut
Kau.
Benar-benar itu Engkau
(Udara yang kuhirup pun, kini menyeruku. “hai Perempuan ! tersenyumlah !, bawa kerudungmu dan lipat kedua tangan di dadamu, katakanlah, kau hanya mencintai Tuhanmu !” )
Pringsurat,,9 September 2009
Henny Arhiend Prayoga
dingin mengelus meregangkan butiran saujana,
gemuruh dada, kenyang luka,
pada sepi hati tak terbunuh,
pada hening sukma tak tertikam,
pada lugasnya kalimat cinta perawan, jejaka tak tergeming
Elegi senja hari, meremas dedaunan sirih bergulung,
Membenangi sumping telinga gadis bercadar simpul
Tunduknya malu-malu, mengantar lirik di sudut senyum
Bukan kata “ya “, ataulah kalimat bernada bijaksana
Meneduh sepanjang raga bersauh
Meretas Guntur perjumpaan bumi dan nirwana
Dayungku tlah kau patahkan, dengan cinta yang meluluhkan haluan
Serpih kain penutup lutut pun, tlah kau lipat dalam keranda
Langkah tlah menjemput, impian tlah berpaut
Jasad dalam peluk, sukma dalam pagut
“Tak puaskah kau miliki aku dengan segalaku ?”
“Hingga perlu kau penjarakan aku pada pandangmu ?”
Bukan pada sia-sia, aku berlutut
Bukan pada tanpa lenganmu, aku bergelayut
Bukan pada tanpa hasratmu, aku terhanyut
Kau.
Benar-benar itu Engkau
(Udara yang kuhirup pun, kini menyeruku. “hai Perempuan ! tersenyumlah !, bawa kerudungmu dan lipat kedua tangan di dadamu, katakanlah, kau hanya mencintai Tuhanmu !” )
Pringsurat,,9 September 2009
Henny Arhiend Prayoga
Aevo Ode Tentangku
Pias wajah terbata hanya pada simbol keberduaanmu yang mencoba memutar horison di muka jantera,,
lihat saja bumi melirik dengan bola matanya mengelam menunjuki hatinya yang marut
urungkan niatmu,,tatap sendau gurau kita,,,lalu rekam perlahan belai demi belai elusku,
senada pucuk daun bambu gemerisik membisik mengusik merakit mimpimu semalaman
aku bukan semata-mata perempuan yang butuh buaian
aku bukan semata-mata perempuan yang hanya mencintaimu di permukaan bayang.....
di balik butiran kerikil yang kau pijak,,niatan itu tertanam sungguh
bukan pada cakarwala kau luaskan pandang angkuh
seakan jiwamu menghitung teguh
di jemari rapuh…
aku bukan semata-mata perempuan yang menari di sudut kelambumu dan menyulamkan hiasan bunga-bunga di taplak meja makanmu,,
aku bukan semata-mata perempuan yang mengeja namamu dengan artikulasi yang serupa gumam….
Usai kau menerjemahkan,
Elegi di pinggir bukit saat senyumku kau paksa terbuang di dasar jurang
maafkan aku karna kuterusi aku menanam bunga-bunga
petik saja mataharimu sendiri lalu sematkan di jantungmu
oleh karena hari ini indah,,aku kan menangis sepuas-puasnya
dan jangan coba ulurkan sapu tanganmu
tidak kan berarti apapun sebelum kau jadi raja dalam benakku
kau telah dan akan selalu menjadi kekasih
saat kau menyisipkan segumpal kata “ I Love U “ atau tidak
aku adalah perempuan dalam tanda titik
aku adalah perempuan yang sepenuh-penuhnya mengikhlasi tubuh dan hatiku dalam tanda titik
( cukup bawa matamu, melirik di tepian telaga, kumandikan cintaku disana )
Arhiend Prayoga
lihat saja bumi melirik dengan bola matanya mengelam menunjuki hatinya yang marut
urungkan niatmu,,tatap sendau gurau kita,,,lalu rekam perlahan belai demi belai elusku,
senada pucuk daun bambu gemerisik membisik mengusik merakit mimpimu semalaman
aku bukan semata-mata perempuan yang butuh buaian
aku bukan semata-mata perempuan yang hanya mencintaimu di permukaan bayang.....
di balik butiran kerikil yang kau pijak,,niatan itu tertanam sungguh
bukan pada cakarwala kau luaskan pandang angkuh
seakan jiwamu menghitung teguh
di jemari rapuh…
aku bukan semata-mata perempuan yang menari di sudut kelambumu dan menyulamkan hiasan bunga-bunga di taplak meja makanmu,,
aku bukan semata-mata perempuan yang mengeja namamu dengan artikulasi yang serupa gumam….
Usai kau menerjemahkan,
Elegi di pinggir bukit saat senyumku kau paksa terbuang di dasar jurang
maafkan aku karna kuterusi aku menanam bunga-bunga
petik saja mataharimu sendiri lalu sematkan di jantungmu
oleh karena hari ini indah,,aku kan menangis sepuas-puasnya
dan jangan coba ulurkan sapu tanganmu
tidak kan berarti apapun sebelum kau jadi raja dalam benakku
kau telah dan akan selalu menjadi kekasih
saat kau menyisipkan segumpal kata “ I Love U “ atau tidak
aku adalah perempuan dalam tanda titik
aku adalah perempuan yang sepenuh-penuhnya mengikhlasi tubuh dan hatiku dalam tanda titik
( cukup bawa matamu, melirik di tepian telaga, kumandikan cintaku disana )
Arhiend Prayoga
Perenunganku
Aku keluar jendela, bersama langkah tertahan . Pandang tak tergelak terbungkam menuli membuta . Dada gemuruh patuh mendetaki separuh langit , pijar sepinggan gemintang nyala sisa sampur terlilit sapuan pipi merona merajuk manja
kulepasi satu-satu, gemeretak dingin melawan pagi. Langit yang melahirkan mentari, tak jua reda dalam kontraksi. Sapuan embun di bibir jendela, meluap hening, melukisi warna malam memudarkan senyum kelamnya dalam hitam
Wajahmu, sewarna bentuk dengan lengkung di ujung horizon, tempat rembulan meninggalkan pijar keemasannya pada bukit-bukit mendung.
Bukan pada tiap lagu cinta aku mampu bersenandung, atau merelakan hatiku tuk memaknainya tegas dalam kosong. Yang bermakna di benak, tiada lain karenamu membuatnya berarti. Dan pada saat semua tak lagi mencari, aku tlah menemukanmu jauh-jauh hari.
Lagi-lagi, tersekat tak berucap. Terkunci lidah, mati kata dalam benang pengharapan menjerat mengikat. Bibir yang senantiasa kau kecup penuh mesra ini tak bergerak, menggumam hanya pada dasar hati dan tak tergetar di artikulasi. Jeda antara nafas dan hela nadi memanggil perlahan tanpa bentuk.
“ Kau, atau tubuhmu yang lelap dalam dekap. Kau, atau pulasmu yang mengembarakanmu pada pertemuanku di sudut jendela kamar kita. Kau, atau elusmu yang mengeja tiap inci rambutku dengan geletar hasrat cinta. Kau, atau bisikmu yang mewakili seluruh kalimat yang pernah dicipta semua pujangga “
Seluruh jawaban, tersimpan di genggam gaun panjangku yang menutup lutut. Urai rambutku turut menguncinya rapat-rapat. Semua kain membalut jantung menyimpannya dalam diam.
Aku dalam lunglai kaki ringkih, mengerati sebongkah kukuh menutup dan menepuk dada pada tunduk. Menyenyahkan pandang laki-laki jalang dengan siulan menikam kesungguhan.
Dan aku tetap di pinggir jendela, berharap dengan kedua lengan kukuhmu, kau bawa pembuka benakku.
Arhiend Prayoga
dalam perenungan
kulepasi satu-satu, gemeretak dingin melawan pagi. Langit yang melahirkan mentari, tak jua reda dalam kontraksi. Sapuan embun di bibir jendela, meluap hening, melukisi warna malam memudarkan senyum kelamnya dalam hitam
Wajahmu, sewarna bentuk dengan lengkung di ujung horizon, tempat rembulan meninggalkan pijar keemasannya pada bukit-bukit mendung.
Bukan pada tiap lagu cinta aku mampu bersenandung, atau merelakan hatiku tuk memaknainya tegas dalam kosong. Yang bermakna di benak, tiada lain karenamu membuatnya berarti. Dan pada saat semua tak lagi mencari, aku tlah menemukanmu jauh-jauh hari.
Lagi-lagi, tersekat tak berucap. Terkunci lidah, mati kata dalam benang pengharapan menjerat mengikat. Bibir yang senantiasa kau kecup penuh mesra ini tak bergerak, menggumam hanya pada dasar hati dan tak tergetar di artikulasi. Jeda antara nafas dan hela nadi memanggil perlahan tanpa bentuk.
“ Kau, atau tubuhmu yang lelap dalam dekap. Kau, atau pulasmu yang mengembarakanmu pada pertemuanku di sudut jendela kamar kita. Kau, atau elusmu yang mengeja tiap inci rambutku dengan geletar hasrat cinta. Kau, atau bisikmu yang mewakili seluruh kalimat yang pernah dicipta semua pujangga “
Seluruh jawaban, tersimpan di genggam gaun panjangku yang menutup lutut. Urai rambutku turut menguncinya rapat-rapat. Semua kain membalut jantung menyimpannya dalam diam.
Aku dalam lunglai kaki ringkih, mengerati sebongkah kukuh menutup dan menepuk dada pada tunduk. Menyenyahkan pandang laki-laki jalang dengan siulan menikam kesungguhan.
Dan aku tetap di pinggir jendela, berharap dengan kedua lengan kukuhmu, kau bawa pembuka benakku.
Arhiend Prayoga
dalam perenungan
Langganan:
Postingan (Atom)